Return to Website

SMANAGA ONLINE FORUM

Selamat datang Alumnus dan Keluarga Besar SMU 3 MAGELANG, jika anda punya saran, usulan dan pendapat, silakan mengisi di forum alumnus SMANAGA ONLINE. ttd Webmaster

SMANAGA ONLINE FORUM
Start a New Topic 
Author
Comment
Tim-tim, Tragedi Sisa-sisa Perang Dingin

Timor Timur Tragedi Sisa-Sisa Perang Dingin


Pramoedya Ananta Toer


Istiqlal, 12 Okt 99


Pada 4 September 1999 Sekjen PBB Kofi Anam mengumumkan hasil referendum di Timor


Timur: 79% penduduk yang berhak memilih menghendaki merdeka lepas dari


Indonesia, 21% mau tetap menjadi bagian Indonesia dengan iming-iming status


otonomi luas. Mendadak sontak Jakarta geger, terkejut seperti disengat listrik


berketegangan tinggi, elit politik para pendukung rejim Orde Baru "jilid II" di


bawah pimpinan Presiden B.J. Habibie mulai saling salah-menyalahkan.




Para politici sekarang ramai mengunyah-ngunyah ulang nasi yang sudah menjadi


bubur. Ada yang bilang seyogianya Presiden B.J. Habibie tidak membuka kesempatan


menyelenggarakan referendum - bukankah Timor Timur atas kemauan rakyatnya


sendiri sudah menjadi bagian integral Indonesia selama 20 tahun lebih? Begitulah


kritik yang ramai kedengaran terhadap kebijakan politik B.J. Habibie, pemegang


hak waris Orde Baru yang diangkat menjadi kepala negara oleh jendral Suharto,


bekas Presiden yang terpaksa turun akibat demonstrasi heroik para pemuda dan


mahasiswa Indonesia menentang kekuasaan represif para jendral.




Pada saat Presiden B.J. Habibie pada 27 Januari yang lalu mengumumkan referendum


bagi rakyat Timor Timur dengan dua opsi: tetap jadi bagian Indonesia dengan


status otonomi luas, atau berdiri sendiri lepas dari Indonesia, maka perkiraan


Habibie dia sudah meluncurkan suatu set politik jenial dengan keuntungan politik


ganda paling spektakuler pada dua bidang sekaligus: internasional dan nasional.




Habibie yang legitimasinya sebagai Presiden sangat rapuh karena mendapat jabatan


itu tidak lewat parlemen atau proses konstitusional yang wajar, memang


membutuhkan suatu stunt politik spektakuler yang mampu mengukuhkan legitimasi


jabatan kepresidenan dan posisi politiknya. Menyelenggarakan referendum berarti


meraih langsung dua bintang gemerlapan dalam sekali gapai. Di mata dunia


internasional, di mata Amerika, di mata negeri-negeri Barat dan PBB, dia


mengharapkan namanya terangkat oleh sikapnya yang "demokratis" tersebut,


sampai-sampai seteru Indonesia sendiri pun, yaitu Portugal terperanjat oleh


tawaran Habibie itu. Di jurus lain pada level nasional dia memperhitungkan


sanjungan dan acungan jari jempol karena dia yakin sesuai kalkulasi politiknya


hasil referendum akan dimenangkan oleh mayoritas rakyat Timor Timur yang


mendambakan tetap menjadi bagian dari Indonesia. Dia kecelé! Kecelé yang tidak


kepalang tanggung!




Hanya ada dua kemungkinan untuk menerangkan mengapa kombinasi kekuasaan Orde


Baru dan pihak militer Indonesia kalah dan salah hitung total di Timor Timur.


Kemungkinan pertama, pemerintah Orde Baru memang selama 20 tahun lebih


membohongi seluruh dunia termasuk rakyat Indonesia, bahwa rakyat Timor Timur


memang ingin sekali berintegrasi dengan Indonesia. Sekian lama kebohongan ini


dipelihara dan dikembang-kembangkan sampai-sampai mereka sendiri menjadi percaya


kepada kebohongan yang mereka ciptakan sendiri. Kemungkinan kedua, boleh jadi


pada saat tentara Indonesia pada tahun 1975 memasuki Timor Timur, pada awalnya


rakyat di sana mungkin menyambut dengan baik kedatangan tentara Indonesia. Bisa


saja mereka berpengharapan nasib mereka menyatu dengan Indonesia barangkali akan


lebih baik daripada di bawah Portugal. Tetapi pengalaman selama lebih 20 tahun


menunjukkan kebalikannya: bukan saja keluarga Suharto berikut croniesnya


menjarah kekayaan Timor Timur, tetapi lebih parah lagi serdadu-serdadu dan


birokrasi Suharto menginjak-injak hak-hak azasi rakyat Timor Timur.




Saya sendiri tidak heran sama sekali atas hasil referendum di Timor Timur ini.


Sebodoh-bodoh rakyat, referendum bagi mereka sudah jelas sekali artinya. Dua


opsi yang ditawarkan Habibie jelas berarti memilih diinjak-injak hak-hak azasi


oleh kekuasaan militeris yang munafik atau bebas merdeka mengurus diri sendiri,


maka dengan sendirinya mudah diterka sebelumnya bagaimana jadinya hasil


referendum itu. Sekarang elit politik kekuasaan di Jakarta berdebat ramai


tentang terjadinya kesalahan strategis gara-gara B.J. Habibie dianggap keliru


menyetujui referendum.




Tetapi saya berpendapat bahwa kesalahan itu bukan terletak pada keputusan


pemerintah Indonesia pada bulan Januari yang lalu. Kesalahan itu sudah ada sejak


awal lahirnya rejim militer Orde Baru, sejak 1965 ketika mereka menjatuhkan


Sukarno, memenjarakan dan meluncurkan genocide yang tak pernah dipermasalahkan


dunia Barat, kemudian kesalahan itu mereka mahkotai dengan puncak suatu


kejahatan politik : menganeksasi bekas jajahan Portugal, Timor Timur di tahun


1975.




Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno mutlak tidak akan pernah


berambisi meluaskan wilayah teritorial negerinya. Sukarno adalah seorang


revolusioner yang visioner, pendidikan baratnya terlalu mengilhaminya dengan


prinsip-prinsip demokrasi dan idee-idee Afklärung. Dia pernah mengatakan bahwa


abad 20 adalah abad pembebasan bangsa-bangsa kulit berwarna dari kolonialisme.


Dia sendiri pun patut dicatat dalam sejarah sebagai politikus dan negarawan


satu-satunya dalam sejarah politik modern sedunia yang mempersatukan negerinya


tanpa meneteskan setitik darah pun. Dalam masa persiapan memproklamasikan


kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, Sukarno dengan tegas menolak memasukkan


wilayah-wilayah tetangga yang bukan bekas Hindia-Belanda ke dalam wilayah


Republik Indonesia. Kesatuan administratif Indonesia memang dilahirkan sebagai


warisan kolonialisme Belanda, akan tetapi sebagai kesatuan politik


tata-kenegaraan Sukarnolah satu-satunya pemimpin Indonesia yang mewujudkannya


dengan damai. Bandingkanlah fakta itu dengan negeri-negeri lain seperti


India/Pakistan, Korea, Jerman dan bandingkannya juga dengan Presiden Suharto.


Jendral ini yang memulai kariernya sebagai militer didikan fascisme Jepang


semasa Perang Dunia ke-II memenjarakan dan membantai jutaan rakyatnya sendiri


hanya untuk membangun pemerintahannya yang dengan bangga dia namakan "Orde


Baru".




Kejatuhan Sukarno tidak lain adalah produk Perang Dingin yang gila dan takut


setengah mati pada momok komunisme. Aneksasi Timor Timur oleh serdadu-serdadu


Suharto di tahun 1975 pun tidak lain adalah sisa-sisa produk Perang Dingin yang


itu-itu juga. Bukankah Amerika dengan kesepakatan bungkam sekutu-sekutunya yang


mengedipkan mata kepada jendral Suharto untuk mempersilakannya masuk menduduki


wilayah Timor Timur? Alasannya: mencegah Timor Timur menjadi pangkalan komunis


di Asia Tenggara.




Presiden Sukarno yang menjadi korban Perang Dingin juga pernah mengatakan bahwa


abad 20 adalah abad intervensi, abad di mana kekuatan-kekuatan adikuasa dunia


dengan seenaknya bisa mengaduk-aduk urusan intern negeri-negeri lain.


Menerjemahkan dengan bebas kata-kata Sukarno itu, berarti bahwa paroh akhir abad


20 adalah satu era di mana kesewenang-wenangan oleh aparat negara adalah wajar


dan sah, era di mana hak-hak azasi bisa diinjak-injak tanpa dikenakan hukuman


(impunity). Era ketidak-adilan yang suci, era munculnya tiran-tiran militer


resmi dan sah yang diakui dan dihormati Amerika dan negeri-negeri Barat, asal


saja mereka tampil atas nama demokrasi demi pembasmian Saukarno dan komunisme.




Seusai Perang Dunia ke-II, Amerika Serikat mengucurkan dana dan bantuan ekonomi


besar-besaran lewat apa yang dinamakan "Marshall Plan" untuk membangun kembali


ekonomi dan ketahanan politik di negeri-negeri Eropa Barat menghadapi bahaya


komunisme. Tetapi untuk negeri-negeri berkembang atau negeri-negeri Selatan,


Amerika Serikat menerapkan rumus lain: tegakkan dan dukung rejim-rejim militer


lokal! Maka mulailah berjalan scenario intervensi besar-besaran di negeri-negeri


berkembang, mulailah pula munculnya tokoh-tokoh jendral yang mendadak menjadi


politikus seperti Mobutu dan Suharto. Berjatuhanlah secara bergilir Lumumba,


Modibo Keita, Nkrumah dan di puncak di atas segalanya itu: Sukarno.




Memasuki abad baru dan melinium baru, kiranya sekaranglah moment paling tepat


saya mengimbau kepada segenap masyarakat beradab di dunia: hentikanlah


rumus-rumus usang sisa-sisa wawasan Perang Dingin bahwa kestabilan politik di


dunia ketiga mutlak harus berada di tangan diktator-diktator militer lokal! Masa


itu sudah harus lewat! Maraknya semacam adagium di dunia ketiga bahwa "militer


adalah agent of modernization, agent of progress and stabilization" tidak lain


adalah reifications produk Perang Dingin, abstraksi-abstraksi yang direkayasa


sedemikian rupa sehingga slogan-slogan kosong itu seakan-akan merupakan


kenyataan kongkret yang tidak bisa dihindari.




Saya melihat bahwa Amerika dan negeri-negeri Barat sampai detik ini masih


mengandalkan stabilisasi politik di Indonesia tetap ditangani kekuatan militer


di bawah jendral Wiranto dengan kendaraan politiknya juga masih tetap pada


partai Golkar yang menjagokan B.J. Habibie sebagai calon Presiden. Mudah


diramalkan bila Amerika dan negeri-negeri Barat tetap berpegang pada


patron-patron lama semasa Perang Dingin seperti itu, dan tidak mampu tampil


dengan paradigma baru dalam wawasan politik mereka terhadap dunia ketiga atau


negeri-negeri Selatan, maka sikap itu akan menjadi kontra-produktif bahkan


menjadi bumerang yang akan merugikan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik


mereka sendiri.




Apakah paradigma baru itu? Masyarakat madani demokratis! Orang-orang militer


jadilah militer professional, dan berhenti main politik. Khusus kepada


masyarakat Jerman yang mungkin bangga melihat seorang alumnus universitas Jerman


menjadi Presiden di Indonesia, ada baiknya mengetahui bahwa B.J. Habibie


sebenarnya mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu yang baik pada saat dia


menggantikan Suharto, sebab kekuasaan ada di tangannya. Akan tetapi sudah sejak


awal dia sendiri yang melempar ke comberan kesempatan terbuka itu. Dia bukan


memisahkan diri dari warisan lama Suharto, sebaliknya dia malah meng-endorse


seluruh kebijakan Suharto yang ditolak oleh rakyat, pemuda dan mahasiswa. Saya


sendiri bukan pendukung apalagi pengagum Megawati, tetapi Habibie saya anggap


membikin kesalahan prinsipil dalam azas demokrasi yang berkaitan dengan PDI.


Paling fatal: dia tetap mengakui partai PDI boneka yang diciptakan Suharto dan


justru mengucilkan partai PDI dukungan massa di bawah Megawati, selanjutnya dia


menggantungkan diri pada jendral-jendral yang tetap setia pada Suharto. Setelah


pemilihan umum bulan Juni yang lalu, ternyata partai PDI Megawati ini muncul


sebagai partai terbesar.




Saya berbahagia dan mengucapkan selamat atas kekalahan politik Suharto-Habibie


di Timor Timur, selamat kepada rakyat Timor Timur membangun suatu negara merdeka


: Republik Timor Loro Sae. Itulah negara dan tempat yang tepat untuk mengadili


Suharto dan para jendral yang mempunyai tangan berlumuran darah sebagai pejahat


kemanusiaan. ***




Address jkt